Minggu, 20 Maret 2016

Misteri Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Soekarno selaku presiden Indonesia saat itu pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Saat ini terdapat beberapa versi dari supersemar yang masih diperdebatkan manakah supersemar yang asli.
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang lebih dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigjen Sabur selaku panglima pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi AD ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjen Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30. Hingga akhirnya Presiden Soekarno menandatangani supersemar yang berisi perintah kepada Mayjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Menurut peneliti sejarah LIPI Asvi Marwan Adam, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.  Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak. "Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi. Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.
Pengawal kepresidenan Sukardjo Wilardjito menuturkan bahwa sang presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu.  Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal AD bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar. Ia juga menuturkan bahwa saat itu ada empat Jenderal yang menemui Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat mandat dari Soekarno. Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M. Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).
Tetapi Maraden Panggabean membantah kesaksian Sukardjo. "Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998). Saat itu Maraden mengaku tidak ada di Bogor, melainkan di Markas Besar Angkatan Darat Jakarta.